Identitas Keindonesiaan dalam Elemen-elemen Estetik Kelompok Decenta: Representasi Praktik Depolitisasi Orde Baru dalam Bidang Kebudayaan[i]

Oleh Chabib Duta Hapsoro

1975 Hiasan puncak, bahan tembaga dengan teknik dicor, patina dan finishing
Salah satu detail elemen estetik Makam Astana Giri Bangun (Makam Keluarga Soeharto di Karanganyar

Esai ini mengajukan hasil pengamatan dan pembacaan saya atas pemikiran-pemikiran Kelompok Decenta perihal pencarian keindonesiaan sebagai karakter berkesenian mereka. Bertolak dari situ, saya mulai dengan tiga pertanyaan. Bagaimana relasi antara karakteristik pencarian keindonesiaan tersebut dengan implementasinya pada beberapa karya elemen estetik mereka? Bagaimana karya-karya elemen estetik Decenta merepresentasikan identitas keindonesiaan pada masa Orde Baru? Melalui karya-karya elemen estetik tersebut, bagaimana relasi kekuasaan yang diinisiasi oleh negara bekerja untuk menampilkan dan melanggengkan identitas kebudayaan nasional dan selanjutnya merepresentasikan kebijakan negara pada sektor kebudayaan?

Tentang Kelompok Decenta

Decenta (Design Center Association) adalah sebuah perusahaan berbadan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh A.D. Pirous, Gregorius Sidharta, Adrian Palar pada tahun 1973. A.D. Pirous selain sebagai seniman (pelukis) adalah seorang pengajar di studio lukis dan desain grafis, Departemen Seni Rupa, Insititut Teknologi Bandung (ITB). G. Sidharta merupakan pematung, sekaligus pengajar di Studio Patung pada departemen yang sama. Lulusan Studio Desain Interior, Adriaan Palar merupakan pimpinan Propelat, sebuah perusahaan konstruksi swasta yang berlokasi Bandung. Pendirian perusahaan berbadan hukum ini didasari oleh perolehan proyek penggarapan elemen estetik di Gedung Convention Hall, Pertamina, Jakarta. Setelah proyek tersebut diperoleh, ketiga orang tersebut mengajak T. Sutanto, Sunaryo dan Priyanto Sunarto. Lulusan studio seni grafis tahun 1969, T. Sutanto mengajar di Studio Desain Grafis sebagai asisten A.D. Pirous. Saat itu Sunaryo sudah menjadi pengajar di Studio Patung. Terakhir, Priyanto Sunarto baru saja lulus dari Studio Seni Grafis, selain menjadi asisten beberapa dosen dalam beberapa urusan.

Penggarapan elemen estetik Convention Hall diimplementasikan dengan merespon pintu-pintu besar dalam gedung tersebut dengan pola/ragam hias Jawa, Batak, Dayak dan Papua untuk menampilkan keberagaman budaya Nusantara. Tiap-tiap orang mendapatkan tugas untuk menciptakan rancangan elemen estetik pada pintu-pintu tersebut. Setelah Convention Hall, Decenta memperoleh proyek-proyek elemen estetik lain yang kebanyakan didapat dari pemerintah dan beberapa perusahaan partikelir.

Mnurut Sunaryo banyaknya pesanan kepada Decenta adalah juga merupakan dampak dari pembangunan oleh Orde Baru dan tumbuhnya kelas menengah membuat banyak pengembang memperhatikan keberadaan elemen estetik yang pada gedung-gedung yang akan mereka bangun.[ii] Kritikus seni rupa Sanento Yuliman sempat menyinggung fenomena ini:

Pertumbuhan ekonomi (dan sosial, tentu saja) lapisan menengah dan atas masyarakat kita dalam dua dasawarsa terakhir, menerangkan bertambahnya kolektor, galeri dan pameran. Pembangunan gedung-gedung untuk hotel besar, kantor, tempat tinggal, dan lain-lain meningkatkan kebutuhan akan lukisan, patung dan berbagai elemen estetik. Dewasa ini terdapat lebih banyak pelukis dan pematung yang memperoleh nafkah dari kerja seninya – beberapa hidup dengan sangat baik – daripada 10 atau 20 tahun yang lalu (Hasan, 2001).

Sebagai sebuah biro desain, Decenta juga menggarap beberapa pekerjaan perancangan grafis seperti kartu ucapan, sampul buku, kalender dan publikasi-publikasi cetak lainnya. Selain berfungsi sebagai lokasi kerja administratif, kantor Decenta juga memiliki studio untuk mendukung kerja-kerja mereka seperti studio grafis (cetak saring), studio fotografi dan studio patung. Selain itu terdapat pula sebuah ruang pajang atau galeri yang pada awalnya digunakan untuk menjual karya-karya cetak saring dan beberapa karya kriya dengan material kayu, keramik ataupun logam. Selanjutnya galeri ini juga menghelat pameran seni rupa, baik dari anggota Decenta sendiri maupun seniman undangan serta bekerjasama dengan institusi lain.

Gambar 1. Elemen Estetik Gedung Convention Hall. (Sumber: Machmud Buchari.)

Novum, sebuah majalah desain grafis yang berbasis di Munchen, Jerman Barat (saat itu) pernah menjadikan Decenta sebagai topik utama (edisi 6 Juni 1978: memuat profil Decenta sebagai biro desain. Reinhard Eisele (Eisele, 1978), penulis laporan tersebut menyatakan:

The main goal of this small group was to work in the field of designing. As a rule the limited themselves to their chosen field but at times they also acted as contractors. Decenta’s activities have so far ranged from interior decoration, graphic, textile and product design to mural reliefs, painting, free and monumental sculpture three dimensional figures and other expression of form, which for their realization need the element of design and art.

Gambar 2. Bagan Eksistensi Decenta. (Sumber: Penulis.)

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain, para anggota dan karyawan orang-orang Decenta tidak bekerja dalam jam kerja yang ketat. G, Sidharta, A.D. Pirous, T. Sutanto, Sunaryo dan Priyanto Sunarto justru mulai bekerja di siang hari setelah mengajar di Departemen Seni Rupa, ITB. Sebagai orang-orang yang menduduki jabatan penting dalam sebuah perusahaan, kelima orang ini tidak menempati ruang kerja yang khusus, melainkan di sebuah ruang yang besar bersama-sama. Pada waktu tertentu mereka melakukan rapat atau pertemuan untuk membicarakan realisasi proyek yang mereka dapatkan, mulai dari brainstorming gagasan hingga ke eksekusi yang melibatkan pekerjaan-pekerjaan teknis. Kantor dan studio Decenta juga tidak hanya digunakan untuk melakukan kerja-kerja proyek Decenta. Orang-orang ini juga menempatkan Decenta sebagai studio berkarya mereka sebagai seniman. Penjadwalan antara kerja Decenta dan kerja kesenimanan relatif fleksibel.

Sebagai sebuah perusahaan desain, Decenta memiliki sebuah visi untuk melakukan pencarian, penjelajahan dan pengolahan nilai-nilai kultural tradisi yang banyak muncul di Indonesia yang terepresentasi pada ragam hias dan bentuk-bentuk budaya lain dan diekspresikan kembali dengan pendekatan modern. Hampir seluruh produk-produk desain dan elemen estetik yang diciptakan Decenta menerapkan bentuk-bentuk visual tersebut.

Eisele (Eisele, 1978) mencatat kecenderungan ini:

A distinctive feature of the association is its enthusiasm in search for and recovery of traditional culture values, which abound in Indonesia and are then rexpressed creatively in the idiom of modern times. The creative dialogue with the past, as part of process of revival, together with the effort to improve the sensitivity of experiencing the environment are elements among many other in the development of the identity of Indonesian Art.

Negara dan Identitas Kebudayaan Nasional

Menurut Abdullah (Tjahjawulan, 2013), kebudayaan tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang di mana ia dikonstruksikan, dijaga, dilanggengkan atau bahkan diubah, karena sifat dasarnya yang historis, kekuasaan akan selalu mencoba untuk mengkonstruksikan kebudayaan berdasarkan wacana dan hasratnya mengunakan bermacam-macam cara, baik secara sukarela maupun represif.

Menimbang hal tersebut, konsep identitas kebudayaan bukanlah sebuah proses yang organik dan terbentuk secara alamiah. Alih-alih ia adalah sebuah entitas yang sengaja dibentuk oleh sekelompok orang (elit) yang merasa mewakili sebuah atau beberapa komunitas. Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu contohnya, bagaimana sekelompok cendekiawan muda mengonsepkan sebuah entitas yang melingkupi sekelompok wilayah secara geografis bernama Indonesia.  Konsep keindonesiaan akhirnya terus dirawat dan dilembagakan oleh para-para cendekiawan-cendekiawan tersebut hingga menempati posisi-posisi penting dalam sebuah institusi negara.[iii]

Pemahaman akan konsep keindonesiaan terus dilembagakan setidaknya pada masa Orde Baru. Terdapat beberapa pemahaman yang dilembagakan oleh negara mengenai identitas Indonesia, salah satunya melalui bangunan Taman Mini Indonesia Indah. Mengutip Picard (2006), Tjahjawulan (2013) menyebut bahwa konsep identitas keindonesiaan didefinisikan oleh pemerintah dengan membentuk sejumlah simbol dan karakter yang mengkarakterisasi tiap-tiap kelompok etnis yang membentuk Indonesia dan ditempatkan secara berdampingan, walaupun faktanya bahwa hanya beberapa kelompok etnis tertentu yang diwakili dan berlaku sebagai representasi dari kebudayaan provinsi.

Pencarian Keindonesiaan Kelompok Decenta dan Identitas Kebudayaan Nasional

Tidak ada manifesto resmi dalam bentuk publikasi apapun dari Kelompok Decenta perihal ini. Namun, dalam sekian wawancara yang saya lakukan, tiap personil selalu mengungkapkan karakteristik tersebut dengan caranya masing-masing. A. D. Pirous misalnya, “Setelah selesai kita dapat bayaran (atas pekerjaan commisioned-pen) dan kita terkejut karena uang yang kita dapat terlalu besar. Kenapa kita tidak berkumpul untuk membentuk semacam asosiasi seperti pelukis, pematung, grafikus dan textile designer. Kita berkumpul dengan intensitas dan kecanduan kita yakni bicara dan mencari diri identitas dalam seni rupa modern Indonesia.”[iv]

Frasa “intensitas dan kecanduan” dapat dimaknai sebagai sensasi kenikmatan saat seorang mengalami sesuatu. Hal ini menyiratkan adanya pencarian keindonesiaan itu tidak berjarak dan menjadi sebuah proses yang alamiah. Pernyataan tersebut juga menandai bahwa dipertemukan para anggota Kelompok Decenta bukan hanya melalui proyek, tetapi juga atas dasar kesamaan pandangan kesenimanan yakni pencarian identitas keindonesiaan.

Sementara Priyanto Sunarto menyatakan, “Yang Barat itu kami (mengacu pada anggota Kelompok Decenta-pen) tidak merasa akrab. Kami malah pengin yang Timur. Nah, di Decenta, kami punya misi untuk menemukan Indonesia, dengan cara kami sendiri masing-masing. Sebetulnya itulah, kami tergabung dalam spirit mencari Indonesia itu.”[v]

Bagaimana nilai-nilai keindonesiaan tersebut dicari oleh Kelompok Decenta?  Beberapa kali A.D Pirous, Sunaryo, T. Sutanto dan Priyanto Sunarto menyebutkan kalimat berbahasa Prancis: Dialogue Avec La Pass sebagai landasan estetik berkarya Decenta. Dialogue Avec Le Pass yang berarti berdialog dengan masa lalu dimaksudkan mereka untuk mencoba menggali kekayaan seni rupa tradisi khas Nusantara untuk diaplikasikan pada karya-karya mereka.

“Berdialog dengan masa lalu” berbeda maknanya dengan “kembali ke masa lalu”. Percakapan dengan masa lalu menyiratkan bahwa seseorang yang bercakap-cakap dengan masa lalu tersebut masih menjejakkan diri di masa kini. Masa lalu dapat dimaknai sebagai sebuah rujukan atau referensi yang menuntun seseorang dalam kehidupan masa kini. Kenapa percakapan masa lalu ini menjadi penting untuk dilakukan? Dapat diartikan bahwa pernyataan tersebut memiliki nuansa poskolonial di mana oleh penjajahan yang panjang, masyarakat Indonesia menjadi terasing dan tercerabut dari kehidupan masa lalu/aslinya. Melalui peninggalan benda-benda tradisi yang masih hadir dalam kehidupan modern, masyarakat Indonesia yang tidak mengalami kehidupan tradisi menjadi tergugah dan menemukan banyak nilai-nilai yang tidak mereka temukan dalam kehidupan modern.

Frasa “berdialog dengan masa lalu” diterjemahkan oleh G. Sidharta dalam konteks mengaitkan diri dengan seni tradisi. “Saya ingin mengaitkan diri kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini. Dalam hal ini saya memilih cara pendekatan melalui pergaulan yang terus menerus, yang dekat dan akrab, dengan benda-benda, bentuk-bentuk, cerita, jalan pikiran dan segalanya yang merupakan hasil dan pengungkapan citarasa dari kehidupan dan pergaulan tradisional.” (Hasan, 2001).

Frasa “mengaitkan diri kembali dengan jalur kehidupan tradisi” menandai sebuah peristiwa di mana seseorang kembali mengaitkan diri pada sesuatu yang telah lama ditinggalkan. Hal itu juga menyiratkan bahwa di masa lalu Sidharta sudah akrab dengan kehidupan tradisi. Tradisi sempat ditinggalkan Sidharta karena sebagai seniman ia memiliki pendekatan modernis-formalis. Frasa “di samping sekaligus tetap berdiri di alam masa kini” menyiratkan bahwa Sidharta tidak mengisolasi diri dari kehidupan modern. Frasa menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini menegaskan prinsip Sidharta untuk mengolaborasikan antara pakem-pakem seni tradisi dengan prinsip seni rupa modern.

Gambar 3. Elemen estetik, bahan tembaga dengan teknik ketok, las, dan dipatina pada ruang penerima tamu kantor Badan Pemeriksa Keuangan RI, Jakarta (tanpa tahun). (Sumber: Machmud Buchari.)

Karya-karya elemen estetik mereka juga merepresentasikan kecenderungan tersebut. Yakni menggabungkan pakem-pakem seni tradisi yakni ornamen hias tradisional dengan diciptakan melalui pendekatan-pendekatan modern yang tercermin teknik-teknik penciptaan yang lepas dari teknik-teknik tradisional. Teknik-teknik pengerjaan elemen estetik seperti cor, patina, ketok dan las yang tidak dikenal dalam teknik-teknik penciptaan tradisional. Hal tersebut misalnya muncul pada Gambar 3. Sintesis antara yang tradisional dan yang modern ini juga terlihat pada terpasangnya elemen-elemen estetik pada gedung-gedung berarsitektur modern (Gambar 4).

Gambar 4. Railing tangga bahan kayu jati dengan teknik pahat ukir yang di-finishing pada Gedung Departemen Agama RI, Jakarta (1982). (Sumber: Machmud Buchari.)

Gambar 5. Elemen hias dekoratif pada sisi kanan-kiri pintum masuk Gedung Serba Guna, bahan kayu jati, teknik pahat dan finishing pada Gedung Departemen Agama RI, Jakarta (1982). (Sumber: Machmud Buchari.)

Setelah proyek Convention Hall, Decenta mengerjakan banyak elemen estetik pesanan pemerintah baik di Jakarta (pusat) maupun di daerah. Beberapa proyek elemen estetik Decenta yang dikerjakan di Jakarta adalah Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (Gambar 3), Gedung Departemen Agama (Gambar 4, 5), Ruang Sidang DPA (Gambar 6), dan Gedung Pusat Pertamina (Gambar 7, 8).

  • Gambar 6. Elemen dekoratif bahan kayu jati dengan teknik pahat yang di-finishing pada Ruang Sidang DPA RI, Jakarta (tanpa tahun). (Sumber: A.D. Pirous.)

Jika dilihat, elemen estetik yang dikerjakan Decenta di Jakarta menampilkan keberagaman ornamen hias dari beberapa wilayah di Indonesia. Gedung Convention Hall menampakkan hal tersebut, di mana masing-masing pintu besarnya direspon dengan lima jenis ornamen hias tradisional dari beberapa daerah di Indonesia. Demikian juga bisa kita lihat misalnya latar Ruang Sidang DPA yang menggunakan ornamen hias Papua (Irian) atau pada dinding dan ruangan Departemen Agama yang menampakkan ornamen hias Jawa dan Nias. Pada dinding bagian depan pintu masuk gedung serba guna, Gedung Departemen Agama, juga terdapat ornamen hias yang merepresentasikan difusi atas ornamen-ornamen hias di Indonesia. Bidang-bidang ornamen geometrik segitiga dapat ditemukan di hampir seluruh ornamen hias di Indonesia. Noktah-noktah merepresentasikan ornamen hias khas Indonesia Timur seperti Irian. Sementara itu warna cokelat ornamen hias itu mengandung karakter cokelat khas Jawa. Dan, warna merahnya merupakan merah khas Indonesia Timur.

  • Gambar 7. Pintu dekoratif, bahan kayu jati dengan teknik dipahat ukir, diwarna dan finishing pada ruang rapat staf Gedung Pusat Pertamina, Jakarta (1979). (Sumber: Machmud Buchari.)
  • Gambar 8. Sailing dekoratif pada salah satu ruang rapat Gedung Pusat Pertamina, Jakarta (1979). (Sumber: Machmud Buchari.)

Pada beberapa bagian ruangan dan dinding Gedung Pusat Pertamina Jakarta, ornamen hias Jawa tampak pada pintu dekoratif. Sementara itu ornamen hias Kalimantan muncul pada sailing dekoratif.

Pencarian keindonesiaan juga diterjemahkan secara beragam oleh tiap anggota Decenta. Sebagai seniman, karya-karya anggota Decenta menjelajahi ornamen-ornamen hias dan bentuk-bentuk budaya tradisi yang berbeda-beda. A.D. Pirous dan eksplorasinya atas elemen kaligrafi Arab—khususnya yang tertulis di makam-makam kuno di Aceh—serta ornamen hias Aceh. G. Sidharta dan eksplorasi ornamen hias Jawa berikut narasi tentang mitologi yang berkaitan dengan kejawaan. Sunaryo menerapkan ornamen-ornamen primitif dari Nias dan Irian. Karya-karya T. Sutanto sering mengambil dan mengadopsi perupaan ornamen hias tradisional seperti batik.  T. Sutanto juga mengambil ikon-ikon folklor dan budaya populer yang hidup saat ia kecil seperti merk-merk jamu, iklan tukang gigi, serta cerita rakyat dan lain-lain. Karya-karya Priyanto juga sering mengadopsi beberapa jenis ragam hias dari beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa, Batak, Dayak dan Irian dalam kepentingan pengungkapan sensasi visual.

Keberadaan elemen-elemen estetik yang memakai ornamen-ornamen hias nusantara serta keberadaannya yang banyak terpasang di gedung-gedung institusi pemerintah dan ruang publik berskala besar ini merepresentasikan upaya negara dalam menampilkan pencitraan identitas keindonesiaan. Hal ini merupakan upaya negara untuk melembagakan identitas kebudayaan nasional Indonesia, seturut dengan gagasan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Konsep identitas tersebut adalah keberagaman budaya Indonesia, di mana setiap warga negara secara persuasif diminta untuk mengenali dan menyadari keberagaman itu sebagai identitas kebudayaan nasional.

Identitas Kebudayaan Nasional di Daerah

Decenta juga mengerjakan elemen-elemen estetik di beberapa kota di Indonesia antara lain Kompleks Makam Bung Karno, Blitar (Gambar 9); Kompleks Makam Keluarga Soeharto Astana Giribangun, Karanganyar (Gambar 9); Gedung Bank Indonesia, Sibolga (Gambar 10); Masjid Sabilal Muhtadin, Banjarmasin (Gambar 11) dan lain-lain. Hal yang berbeda terdapat pada ornamen hias pada beberapa gedung di daerah-daerah. Beberapa gedung milik institusi negara menampilkan ragam hias pada yang sesuai dengan ragam hias di daerah tersebut.

Gambar 9. Mihrab dan kaligrafi syahadat pada Masjid Makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur (1979). (Sumber: Machmud Buchari.)

  • Gambar 10. Hiasan puncak, bahan tembaga dengan teknik dicor, dipatina pada komplek Makam Astama Giri Bangun, Karanganyar (1975). (Sumber: Machmud Buchari.)
  • Gambar 11. Hiasan puncak, bahan tembaga dengan teknik ketok, las dan dipatina pada bangunan Gedung Bank Indonesia, Sibolga, Sumatera Utara (1973). (Sumber: Machmud Buchari.)
  • Gambar 12. Pintu Kerawang terbuat dari bahan tembaga, las dan dipatina pada Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1980). (Sumber: Machmud Buchari.)

Perbedaan di antara elemen-elemen esetik di Jakarta dan daerah. Hal ini terjadi karena Jakarta, sebagai ibu kota negara, menjadi semacam etalase atau miniatur yang dapat mewakili keberagaman identitas Indonesia secara keseluruhan. Istilah “etalase” penting digarisbawahi dalam konteks pengenalan identitas budaya nasional kepada orang-orang asing yang melakukan interaksi kepada negara secara khusus melalui institusi-institusi tersebut. Keberadaan elemen-elemen estetik melalui gedung-gedung instusi negara daerah memperlihatkan kesadaran negara pada budaya-budaya tradisi di daerah tersebut. Elemen estetik dengan ornamen tradisi di daerah memperlihatkan bahwa identitas kebudayaan nasional negara juga diwakili oleh budaya yang ada di daerah-daerah.

Konstelasi nasional dan daerah ini mengingatkan kita kepada konsep kebudayaan nasional yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Budaya daerah yang direpresentasikan melalui elemen-elemen estetik di gedung-gedung institusi negara di daerah kemudian terseleksi menjadi kebudayaan nasional yang tampil melalui elemen-elemen estetik di institusi negara di Jakarta sebagai ibukota negara.

Identitas Kebudayaan Nasional dan Kontradiksi-kontradiksinya

Apakah identitas tersebut benar-benar menjadi sasaran atau tujuan negara? Ternyata terdapat kontradiksi mengenai konsep identitas itu. Misalnya adanya fakta bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia justru menghalangi proses pembangunan nasional. Hal ini disampaikan oleh Tjahjawulan (2013) yang mengutip pernyataan Abdullah (2006) bahwa saat pemerintahan Soeharto, keberagaman etnik ternyata menjadi sebuah faktor penghambat kesatuan nasional, maka dari itu negara justru mencanangkan keseragaman budaya.

Kontradiksi berikutnya adalah keberadaan Satelit Palapa sebagai respon luas wilayah dan keberagaman dengan kebijakan sentralistis. Yuliar (2009, h. 3) menyebutkan bahwa hadirnya Stasiun Televisi Republik Indonesia, stasiun-stasiun transmisi, dan implementasi program televisi masuk desa meningkatkan jumlah pesawat televisi per keluarga dengan pesat, sementara jumlah saluran telepon per kepala keluarga nyaris tidak berubah. Mengutip Barker (2001), Yuliar menyebutkan bahwa hal tersebut merepresentasikan rancangan dan konstruksi berpola satu titik ke banyak titik, dengan aliran informasi dari pusat (Jakarta) ke periferi (daerah). Sementara komunikasi antar daerah tidak terfasilitasi dengan baik. Yuliar menyatakan bahwa dalam sebuah masyarakat yang dicirikan memiliki heterogenitas budaya daerah, wujud konkret sistem komunikasi seperti ini menghalangi terjadinya komunikasi lintas budaya.

Gejala sentralistik juga hadir disertai dengan tindakan represif negara dalam mengelola hubungan dengan daerah. Pratikno (2002) menyebutkan bahwa kendati gerakan separatis daerah pada masa Orde Baru lebih jarang terjadi dibandingkan Orde Lama, hal ini tidak mencerminkan hubungan yang sehat antara pusat dan daerah. Dengan sistem politik yang otoriter di tangan sekelompok kecil elit di Jakarta, sentralisasi sumber daya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra dan infra-struktur politik. Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas “sistem politik” lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia.

Kenapa, dengan kebijakan serepresif itu, pemberontakan separatis justru jarang terjadi? Pratikno (2002) menjawab bahwa keterlibatan militer dalam day-to-day politics secara intensif menumbuhkan ketakutan pada represi ideologis maupun fisik di kalangan komunitas politik yang berusaha menolak dominasi pusat. Hal ini ditambah pula dengan administrasi negara yang terlalu jauh merambah kehidupan warganya seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Kelakukan Baik, Surat Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain, yang menciptakan ketergantungan individu pada negara.

Kleden (1988, h. 230-231) menyebutkan bahwa sebenarnya negara, baik dalam masa kekuasaan Orde Lama maupun Orde Baru tidak pernah memiliki kebijakan kebudayaan nasional yang jelas dan dapat diterima secara jelas yang dapat menjadi pegangan bagi orang-orang yang bekerja dalam bidang kebudayaan. Kleden melanjutkan bahwa masalah kebudayaan nasional hanya menjadi definisi politis yang serba umum dan kabur, yang diinterpretasikan menurut keperluan politik.

Khusus untuk kekuasaan Orde Baru, Kleden (1988, h. 237) menyebutkan bahwa kebudayaan nasional cenderung digunakan sebagai alat kontrol untuk mengawasi gaya politik dan gaya intelektual. Dalam bidang politik sistem oposisi tidak diperkenankan, sedangkan dalam bidang intelektual setiap pemikiran kritis harus memenuhi syarat-syarat estetika sopan santun.

Kebijakan sentralistik dipahami oleh Yudhistira (2010, h. 37) sebagai praktik depolitisasi. Rakyat dilarang berafiliasi dengan partai politik tertentu dan dikondisikan “mengambang” secara ideologis. Rakyat hanya diperbolehkan menyalurkan aspirasi politiknya saat Pemilu saja (lima tahun sekali). Depolitisasi dan deparpolasi dianggap sebagai jalan terbaik agar rakyat berkonsentrasi pada pembangunan nasional.

Paparan di atas menampakkan budaya-budaya tradisi Indonesia diakomodasi dan dijadikan sebagai modus propaganda identitas kebudayaan nasional. Identitas keindonesiaan pada masa Orde Baru merupakan sebuah konsep pencitraan atas kebijakan yang sentralistik dan represif sebagai wujud depolitisasi bagi warganya.

Depolitisasi dan Modernisme

Terdapat sebuah rantai sosiologis yang memungkinkan para Kelompok Decenta sering mendapatkan proyek-proyek pengerjaan elemen estetik pemerintah Orde Baru. Makalah ini selanjutnya akan mengelaborasi bagaimana anggota Decenta, yang merupakan seniman lulusan Departemen Seni Rupa ITB, berafiliasi dengan negara sehingga dapat menjelaskan salah satu fenomena depolitisasi pada bidang kebudayaan secara lebih terang.

Para seniman dan pengajar di Departemen Seni Rupa ITB (selanjutnya disebut Kubu Bandung) menganut seni rupa modern yang berorientasi formalisme dan modernisme. Modernisme melihat seni dalam kepentingan internal dirinya sendiri. Maka dari itu modernisme tidak melihat bahwa seni bersifat instrumentalis di mana berkepentingan untuk merepresentasikan apa-apa di luar dirinya sendiri. Modernisme juga mewadahi kehendak bebas seniman dalam mencipta.

Pendekatan formalisme tersebut diwariskan oleh Ries Mulder yang menjadi pengajar seni lukis pertama saat Departemen Seni Rupa ITB baru saja berdiri.[vi] Mulder sebelumnya adalah seorang pelukis dengan pendidikan akademik di Belanda (Holt, 1967, h. 348). Sebelum datang ke Indonesia pada tahun 1948 ia telah belajar dan bekerja di Paris, Perancis. Karya-karya Mulder dengan jelas merefleksikan pengaruh yang kuat dari pelukis Jacques Villon. Terkhusus pada corak abstrak, pengajaran Ries Mulder berkutat pada teori formalisme yang berkonsentrasi pada ungkapan esensi bentuk, garis dan warna serta menghindari citraan atau representasi kenyataan. Tercatat beberapa mahasiswa pertama yang berkuliah di sini adalah Mochtar Apin, Ahmad Sadali, dan Eddie Kartasubarna, dilanjutkan oleh Sudjoko dan Angkama. Siregar (2004, h. 30) menyatakan bahwa Mulder meninggalkan jejak baru ke dalam ranah sosial seni rupa di Bandung. Menurutnya, orang belakangan mengistilahkan jejak itu sebagai Mazhab Bandung, suatu cara untuk mendefinisikan kecenderungan gaya melukis para pelukis Bandung yang mengedepankan prinsip-prinsip formal seni.

Sudjoko (Anas, Sabana, Yustiono, Widihardjo. Piliang & Noor, 2000) lebih lanjut menerangkan bagaimana metode pengajaran seni lukis oleh Mulder:

Tujuan Ries dalam melukis ialah memperterang kekanta yang tampak dengan cara memperlugas gemaris dan mempercerah wewarna sehingga tersusun gubahan berirama yang termimbang (=segalanya dalam keadaan setimbang). Boleh jadi pengaruh musik juga kuat di sini. Tamasya kita yang bagi Ries sudah memukau itu tidak pernah dia belakangi atau perkosa. Itu sebabnya warna tidak dia permainkan. Langit biru tetap biru dalam lukisannya. Perahu Indonesia tetap terlukis sebagai perahu Indonesia. Jala melandung tetap jala melandung. Jadi tidak mungkin bulatan akan menjadi segitiga atau persegi.[vii]

Hal ini yang membedakan mereka dengan seniman-seniman di Yogyakarta. Selain itu, dibandingkan para seniman Yogyakarta, para seniman Kubu Bandung ini juga tidak berafiliasi dengan politik. Sebelum peristiwa Gerakan 30 September (G30S) para seniman Kubu Bandung dianggap tidak memiliki rasa nasionalisme karena melukis abstrak yang merupakan warisan dari seni rupa modern Barat. Anggapan tersebut terutama disampaikan oleh para seniman yang bekecenderungan kerakyatan yang menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang banyak disebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Kecaman terhadap para seniman Kubu Bandung terkait kecenderungan formalisme ditunjukkan misalnya oleh Basuki Resobowo yang menyatakan bahwa dengan memandang karya-karya pelukis Bandung, pemirsa hanya dicekau oleh susunan konstruktif dari garis, warna dan bidang (Siregar, 2004, h. 30).[viii]

Meski tidak secara langsung berpengaruh, kondisi sosial-politik Indonesia sebelum tahun 1965 tampak memojokkan pelukis-pelukis Bandung. Realisme sosial yang menjadi paham besar Partai Komunis Indonesia beririsan dengan pemahaman pelukis-pelukis Yogyakarta perihal realisme yang mengangkat tema-tema seputar revolusi. Siregar (2004, h. 30) mencatat bahwa pendidikan seni rupa Bandung dicurigai sebagai antek neo kolonialisme dan mengabdi kepada Barat yang sarat dengan borjuisasi, kelas menengah.

Pasca G30S, dan naiknya kekuasaan Orde Baru para seniman kerakyatan banyak yang dipenjara dan tidak jarang dibunuh. Nasib bertolak belakang terjadi pada para seniman Kubu Bandung. Ketidakterkaitan mereka dengan politik menjadi penentu. Selain itu karya-karya mereka yang abstrak formalis cenderung netral dan jauh dari aspirasi politik secara kebetulan relevan dengan garis kebijakan pemerintah di mana warga masyarakat dijauhkan dari aspirasi berpolitik.

Para seniman Kubu Bandung akhirnya banyak terlibat dalam proyek-proyek pemerintah yakni pengerjaan elemen estetik serta mengerjakan beberapa proyek ekspo di luar negeri. Menurut Haryadi Suadi[ix], hubungan dimulai saat beberapa anggota pengajar ditunjuk menjadi penata artistik Paviliun Indonesia di Expo 70, Osaka. Setelah itu para seniman dan pengajar di bawah institusi Departemen Seni Rupa ITB sering menjadi rujukan pemerintah negara untuk menggarap proyek-proyek Expo selanjutnya.[x] Expo pada akhirnya digunakan oleh negara sebagai propaganda identitas kebudayaan Indonesia di luar negeri.[xi]

Setelahnya, Departemen Seni Rupa ITB memiliki sebuah biro desain yang menggarap elemen estetik, dinamakan Darma Karya. Dipimpin oleh G. Sidharta dan But Mochtar, Darma Karya pernah memperoleh order proyek elemen estetik di Gedung DPR-MPR. Sidharta selanjutnya mengundurkan diri dari Darma Karya segera setelah ia mendirikan Decenta.[xii]

Awalnya, beberapa kalangan pengajar di Departemen Seni Rupa ITB menentang keberadaan Decenta, meskipun tidak secara terang-terangan. Jim Supangkat yang menjadi saksi pada masa-masa itu menceritakan bahwa keberadaan Decenta membuat beberapa orang di dalamnya sempat dijauhi oleh rekan-rekan pengajar. Diperolehnya proyek oleh Decenta membuat Darma Karya tersaingi. Kemudian, eksistensi Darma Karya makin menurun, berbanding terbalik dengan Decenta yang makin eksis sebagai sebuah perusahaan dan sering dipercaya oleh banyak perusahaan negara ataupun swasta untuk menangani proyek-proyek elemen estetik.

Bagaimanapun, resistensi terhadap Decenta tidak dapat hanya dikaitkan pada konteks ekonomi, melainkan juga konteks ideologis. Kekaryaan beberapa anggota Decenta juga dikritik oleh beberapa pengajar, terutama bagi mereka yang menganut paham seni rupa modern murni. Secara personal pada tahun 1970-an karya-karya beberapa seniman Kelompok Decenta mengalami perubahan dengan mengadopsi hal-hal di luar aspek-aspek formal yang “diharamkan” dilakukan, seperti ornamen, tulisan dan mengandung konten narasi mitologi, seperti yang dilakukan oleh G. Sidharta, A.D. Pirous dan Sunaryo di samping beberapa orang yang sudah menerapkan hal tersebut sejak lama seperti T. Sutanto dan Priyanto Sunarto.[xiii]

Jim Supangkat bercerita bahwa pengajar seperti Rita Widagdo menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kecenderungan tersebut, terlebih pada praktik yang dilakukan oleh G. Sidharta yang mengecat patungnya. Hal ini mengingkari salah satu prinsip utama formalisme yakni kejujuran terhadap material. Sunaryo juga merasakan adanya sindiran-sindiran halus terkait perubahan kekaryaannya yang mengadopsi citra-citra primitif Irian.  Harus diakui bahwa tergabungnya mereka di Decenta juga disebabkan oleh kesamaan kecenderungan tersebut.[xiv]

Kesimpulan

Pertama, karakteristik pencarian keindonesian kelompok Decenta terimplementasi pada karya-karya elemen-elemen estetik mereka.

Kedua, melalui elemen-elemen estetiknya ideologi pencarian keindonesiaan Decenta ternyata beririsan dengan identitas kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh negara. Dalam perumusan konsep identitas ini negara dapat disebut sebagai aktor, terlebih dengan mekanisme pemesanan (commision) kepada Decenta. Hubungan negara dengan Decenta dilihat sebagai relasi yang bersifat instruktif, meskipun Decenta diberikan wewenang penuh untuk menerjemahkan instruksi tersebut. Disimpulkan, Decenta mampu mengimplementasikan konsep identitas keindonesiaan yang dirumuskan oleh negara.

Ketiga, karya-karya elemen estetik Decenta, tidak hanya mewakili visi negara dalam mengampanyekan dan melembagakan identitas kebudayaan nasional pada masa Orde Baru, melainkan juga menjadi salah satu representasi kebijakan depolitisasi negara pada bidang kebudayaan.

Kita bisa melihat bagaimana wujud depolitisasi tidak hanya diinisiasi oleh negara, melainkan juga oleh didukung oleh kecenderungan modernisme yang dianut oleh seniman, terutama oleh para seniman Kubu Bandung (pengajar dan alumni Departemen Seni Rupa ITB). Modernisme tidak memandang seni dari konteks tujuan (instrumentalis dan fungsional), melainkan lebih menekankan pada esensi seni itu sendiri. Maka dari itu dapat dinyatakan pula bahwa seni rupa modern yang dianut oleh para seniman Kubu Bandung tidak benar-benar lepas dari konteks instrumentalisnya karena ditunggangi oleh kepentingan penguasa yang menggariskan kebijakan depolitisasi bagi warganya.

Kecenderungan modernisme yang cenderung netral dari representasi politik itu memudahkan implementasi propaganda identitas keindonesiaan oleh negara, yakni mendayagunakan seniman untuk menciptakan elemen estetik. Secara ideologis, kekaryaan anggota Decenta yang memiliki misi untuk melakukan pencariaan terhadap keindonesiaan dalan seni rupa Indonesia, ternyata makin mendukung konsep identitas keindonesiaan negara.

Rujukan:

Abdullah, Irwan. (2005). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, Benedict. (1993). Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Yogyakarta: INSIST & Pustaka Pelajar.

Aly, Rum. (2006). Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

Anas, Biranul. Sabana, Setiawan. Yustiono. Widihardjo. Piliang, Yasraf Amir. Noor, Maman. Refleksi Seni Rupa Indonesia; Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: . PT. Balai Pustaka.

Bujono, Bambang & Wicaksono, Adi (ed). (2012). Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Eisele, Reinhard (1978, Juni) Decenta, Bandung Indonesia, Novum International Monthly for Visual Communication + Graphic Design, 6,51.

George, K.M. dan Mamanoor. (2002). A.D. Pirous, Vision, Faith and a Journey in Indonesia Art 1955-2002. Bandung: Serambi Pirous.

Hasan, Asikin (ed). (2001). Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Yayasan Kalam.

Holt, C. (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca & New York: Cornell University Press.

Kleden, Ignas. (1988). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.

Lindsay, Jennifer & Liem, Maya H.T. (2011). Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965. Denpasar: Pustaka Larasan.

Mahasin, Aswab dan Natsir, Ismed  (ed). (1984). Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES,

Picard, Michael. (2006). Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG.

Pratikno. (2002). Pengelolaan Antara Pusat dan Daerah. Makalah yang dipresentasikan pada Lokakarya Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, AIPI dan Undip, Semarang.

Siregar, Aminudin T.H. (2004). Lukisan Baru: Setelah Lukisan Non-representasional di Bandung. Bandung: Galeri Kita.

Siregar, Aminudin. T.H. (2007). Instalasi Sunaryo (1998-2003), Saksi Tragedi Kemanusiaan. Bandung: Yayasan Selasar Sunaryo.

Siregar, Aminudin. T.H. (2005). Seni Rupa Modern Indonesia. Tesis Magister, Program Studi Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, 2005.

Siregar, Aminudin T.H. & Supriyanto, Enin. (ed). 2006. Seni Rupa Modern Indonesia, Esai-Esai Pilihan, Penerbit Nalar, Jakarta.

Sugiharto, Bambang. (2007). Jagat Tanpa Sekat. Bandung: Yayasan Selasar Sunaryo.

Sumardjo, Jakob. (2000). Sosiologi Seniman Indonesia, Penerbit ITB: Bandung.

Supangkat, Jim & Yuliman, Sanento. 1982. G. Sidharta: Di Tengah Seni Rupa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Supangkat, Jim. (1995). Lukisan, Patung, dan Grafis G. Sidharta. Bandung: PT. Rekamedia Multiprakarsa,

Tjahjawulan, Indah. (2013). Indonesia’s Cultural Highest Achievement as a Propaganda of the New Order Administration through Pavilion Display at the World Expo. Makalah disampaikan pada The Asian Conference on Arts & Humanities, Osaka, 2013.

Vickers, Adrian. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Cambridge: Cambridge University Press.

Wiyancoko, Dudy (ed). 2003. A.D. Pirous: Melukis Itu Menulis. Bandung: Yayasan Serambi Pirous dan Penerbit ITB.

Yudhistira, Aria Wiratma. Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Jakarta: Marjin Kiri.

Yuliar, Sonny. 2009. Tata Kelola Teknologi: Perspektif Teori Jaringan Aktor-aktor. Bandung: Penerbit ITB.

Yuliman, Sanento & Buchori, Machmud. 1985. Lukisan, Etsa dan Cetak Saring A.D. Pirous. Bandung: Galeri Decenta.

Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Yustiono. (1983). Gagasan-Gagasan Dalam Seni Rupa Modern Indonesia: Kecenderungan dan Maknanya. Skripsi Program Sarjana, Departemen Seni Rupa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung, 1983.

 

Catatan kaki:

[i]    Makalah ini dipresentasikan di Simposium Khatulistiwa yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennal Yogya pada 17-18 November 2014, di Gedung Lengkung, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

[ii]    Wawancara dengan Sunaryo 26-2-2014

[iii]   Baca Benedict Anderson, Imagined Communities, 2001

[iv]   Wawancara dengan A.D. Pirous, 5-9-2011

[v]    Wawancara dengan Priyanto Sunarto, 16-12-2013

[vi]   Cikal-bakal Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini dicetuskan oleh Simon Admiraal seorang guru pada sebuah Lyceum (semacam SMA di jaman pendudukan Belanda) di Jakarta dan Ries Mulder seorang pelukis yang ditahan oleh Jepang setelah belum lama datang ke Indonesia untuk berpameran. Mereka bertemu di dalam tahanan Jepang saat menduduki Indonesia tahun 1943-1944. Di dalam tahanan mereka berdiskusi membicarakan ketidakadilan yang telah dilakukan oleh bangsanya karena penjajahan dan seharusnya sudah mulai berpikir untuk memajukan bangsa Indonesia. Pemikiran kedua orang tersebut sempat tertunda karena mereka harus pulang ke Belanda setelah Perang Dunia II berakhir. Saat di Belanda Admiraal masih bergiat untuk mewujudkan gagasannya tersebut dengan mengajukannya pada Departemen Pendidikan, Kesenian dan Pengetahuan Pemerintah Kerajaan Belanda. Menurutnya inilah saatnya Belanda menebus ketidakadilan atas penjajahan yang telah dilakukan kepada Bangsa Indonesia. Secara khusus, saat penjajahan di Indonesia, tidak pernah ada suatu pendidikan formal Sekolah Menggambar. Saat itu hanya terdapat tiga orang guru gambar yang mendapatkan Middlebare Akte yakni Akta Mengajar Menggambar untuk sekolah setingkat SMA yakni Sjafei Soemardja dari Priangan, R.J. Katamsi dari Yogyakarta dan Soemarno dari Jawa Timur. Gagasan Admiral itu akhirnya disetujui oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Lahirlah Balai Pendidikan Seni Rupa Tingkat Universitas Guru Gambar pada 1 Agustus 1947. Admiral kemudian mengajak Ries Mulder. Kemudian ia beberapa pengajar Belanda dari Universitas Indonesia serta beberapa tenaga asisten ahli dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang ITB) untuk ikut mengajar beberapa mata kuliah di balai ini. Baca Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Indonesia, diterbitkan oleh Panitia Peringatan 35 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Indonesia, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB, 1983 hal: 15.

[vii]   Baca Sudjoko, Menuju Nirada dalam Biranul Anas, Setiawan Sabana, Yustiono, Widiharjo, Yasaraf Amir Piliang, Maman Noor (ed), Refleksi Seni Rupa Dulu, Kini dan Esok (Jakarta, Balai Pustaka: 2000) hal: 29)

[viii] Baca Aminudin TH Siregar, Lukisan Baru: Setelah Lukisan Non-Representasional di Bandung. 2004. Galeri Kita, hal 30.

[ix]   Wawancara dengan Haryadi Suadi 25-2-2014. Haryadi Suadi merupakan kawan seangkatan T. Sutanto di Departemen Seni Rupa ITB. Berbeda jalur dengan Sutanto yang memilih Studio Desain Grafis, Suadi memilih mengajar di Studio Seni Grafis hingga sejauh ini dikenal sebagai seniman grafis dengan teknik cukil kayu dengan pokok soal tradisi-tradisi dan mitologi Cirebon. Kendati tidak menjadi anggota, Suadi terlibat dalam beberapa proyek-proyek Decenta.

[x]    Setidaknya Sunaryo mengingat bahwa ia pernah terlibat lagi dalam penataan paviliun Indonesia di Expo 1985 di Tsukuba, Jepang dan Expo 1986 di Vancouver, Kanada. Wawancara dengan Sunaryo 26-2-2014

[xi]   Baca Indah Tjahjawulan, Indonesia’s Cultural Highest Achievement as a Propaganda of the New Order Administration through Pavilion Display at the World Expo, 2013

[xii]   Wawancara dengan Jim Supangkat, 20-12-2014. Sebelum dikenal sebagai kurator yang berpengaruh dalam medan seni rupa Indonesia, Jim Supangkat adalah lulusan Studio Patung, Depatermen Seni Rupa ITB tahun 1975. Setelah lulus, Jim Supangkat memiliki hubungan yang cukup dekat dengan beberapa pengajar Departemen Seni Rupa ITB, seperti G. Sidharta dan Sanento Yuliman. Sosok Jim Supangkat kemudian dikenal dalam medan seni rupa Indonesia setelah bersama seniman muda Bandung dan Yogyakarta menyelenggarakan Pameran Seni Rupa Baru tahun 1975 di Jakarta. Pameran ini akhirnya menjadi embrio Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI), sebuah kelompok senman yang berdedikasi untuk meredifinisi seni rupa dan kemungkinan-kemungkinannya untuk memberikan dampak pada isu-isu sosial dan budaya. Baca http://www.global-contemporary.de/en/artists/10-jim-supangkat. Dalam beberapa hal, melalui karya-karya seniman-seniman eksponennya, GSRBI juga mencoba menentang depolitisasi seni pada masa Orde Baru.

[xiii] Wawancara dengan Jim Supangkat, 20-12-2014.

[xiv] Wawancara dengan Jim Supangkat, 20-12-2014.

1 komentar pada “Identitas Keindonesiaan dalam Elemen-elemen Estetik Kelompok Decenta: Representasi Praktik Depolitisasi Orde Baru dalam Bidang Kebudayaan[i]”

  1. […] DECENTA pada awalnya didirikan pada 1974 untuk memenuhi kebutuhan elemen estetik bangunan pada masa awal kemajuan perekonomian Orde Baru. Selain menggarap elemen estetik ruang lingkup kerja DECENTA kemudian juga merambah ke desain interior dan desain grafis. Sebagai sebuah biro desain, Decenta memiliki sebuah kredo estetik “berdialog dengan masa lalu”: mencari, menjelajahi dan mengolah nilai-nilai tradisi di Indonesia yang hadir pada ragam hias dan mengekspresikannya kembali dengan pendekatan modern. Singkatnya adalah mencari keindonesiaan. […]

    Suka

Tinggalkan komentar